MENGEMBALIKAN FITRAH DENGAN PUASA

JAMA’AH JUM’AT RAHIMAKUMULLAH
Pada hari yang berbahagia ini, dalam suasana Idul Fitri dan Halal Bi Halal yang penuh kesucian, tidak henti-hentinya kita mengucap syukur atas semua ni’mat yang telah Allah berikan kepada kita. Karena setelah sebulan penuh kita melaksanakan Ibadah puasa kembali Allah memberikan nikmat tak terhingga dengan mengantarkan kita sebagai hamba-Nya pada Fitrahnya masing-masing.
Selanjutnya, dengan penuh keikhlasan dan rasa cinta yang dalam, marilah kita panjatkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta para sahabat, keluarga dan ahli warisnya sekalian.
Kaum Muslimin Rahimakumullah
Mungkin masih terngiang dalam ingatan kita bahwa seminggu yang lalu, kita semua masih berada dalam bulan Ramadhan yang penuh Barokah dan Ampunan. Belum lagi kering lidah kita yang senantiasa bertasbih memuji Allah pada bulan itu, dan belum keluh lidah ini yang selama sebulan di siang hari tidak dapat mengecap makanan dan minuman yang lezat. Maka pada kesempatan yang berbahagia ini, mumpung memori Ramadhan masih ada dalam benak kita, maka tidak ada salahnya jika kita sejenak membuka kembali lembaran-lembaran ibadah puasa yang kita telah laksanakan sebulan lamanya itu. Hampir setiap saat di bulan Ramadhan kita sering mendengar betapa sering para Muballigh mengemukakan firman Allah SWT didalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183 :



“Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Mari kita Renungkan! Didalam firman Allah ini, jelas terlihat bahwa kewajiban puasa merupakan ketentuan Allah yang memiliki dimensi pokok sekaligus dapat mengantarkan manusia beriman untuk mencapai derajat takwa. Dan ketika seorang hamba telah sampai pada tingkatan taqwa tersebut maka secara otomatis ia akan mendapatkan ridha, rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Adapun hal pokok yang dimaksudkan dari kewajiban puasa tersebut, bahwa puasa mendidik manusia untuk mengetahui dan mengenal jati diri yang sesungguhnya. Dalam arti yang lebih sederhana bahwa puasa merupakan fitrah yang diwajibkan kepada hamba-hamba yang menyatakan diri beriman kepada Allah.
Hal ini terlihat jelas, setelah sekian lama kita menjalani hidup diatas dunia ini, setelah sekian tahun kita menghabiskan umur yang tersisa, bukan tidak mungkin banyak diantara kita yang terjebak dengan pengaruh dan pesona kehidupan duniawi, banyak diantara kita yang meninggalkan perintah-perintah Allah dan bisa jadi banyak manusia yang kehilangan jati diri dengan sengaja lupa atau melupakan Allah sebagai satu-satunya Zat yang wajib disembah. Ini semua disebabkan karena banyak diantara kita yang terlalu sibuk bahkan mati-matian untuk mengejar kehidupan dunia yang fana ini.
Setiap hari seakan kita terjebak dalam skema rutinitas yang hampir tidak pernah berubah. Orientasi atau tujuan hidup kita seakan hanya diarahkan untuk kepentingan-kepentingan duniawi yang semu. Setiap menit dari umur kita hanya dihabiskan untuk mengejar kekayaan, kesuksesan duniawi atau kenikmatan semu yang menggiurkan. Oleh karena, tujuan hidup kita yang hanya terjebak pada keinginan-keinginan syahwati itu dan orang-orang mengukur kebahagiaan seseorang dengan kekayaan, kekuasaan dsb, maka tidak menutup kemungkinan pada posisi ini manusia seakan kehilangan jati diri dan seolah-olah jauh dari fitrahnya sendiri. Kita bisa saksikan berapa banyak orang yang kaya namun kekayaannya diperoleh dengan cara menipu atau mungkin merampas hak orang lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fitrah kita yang telah diberikan Allah sifat jujur dan penuh kasih. Berapa banyak orang yang telah memutuskan tali silaturrahmi dengan keluarga dan saudaranya hanya karena kita tidak memperoleh pembagian harta warisan. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan jati diri kita yang telah diberikan Allah sifat untuk menyatu dan saling menyayangi. Dalam tayangan TV atau mungkin yang sering terjadi disekeliling kita banyak diantara saudara-saudara kita, serba kerkurangan dan tidak memiliki apa-apa, banyak anak-anak miskin yang terpaksa tidak mengenyam pendidikan hanya karena orang tuanya tidak mampu dan begitu banyak orangtua-orangtua disekeliling kita dengan penghasilan pas-pasan bekerja keras dan membanting tulang, berusaha mencari sesuap nasi untuk menghidupi anak dan istrinya. Mereka semua terpaksa menjalani hidup ini dengan derita dan linangan airmata. Selaku hamba Allah yang dibekali sifat dermawan, sifat penyantun serta sikap selalu menyayangi dimanakah kita pada saat itu ? Dimanakah orang yang merasa memiliki kekayaan ? Dimanakah kita yang mengaku sebagai umat rahmatan lil ‘alamin ? Kalau hanya ketika diminta membantu saudara-saudara kita itu, kita merasa enggan untuk menolongnya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Oleh karena itu, melalui bulan suci Ramadhan yang telah kita lalui bersama dengan kewajiban melaksanakan ibadah puasa, kita dididik untuk kembali merenung dan mengembalikan jati diri kita pada fitrahnya yang selama ini telah ternodai dengan keinginan-keinginan kita yang lebih didominasi nafsu syahwat. Kita diperintahkan untuk menahan lapar dan haus bukan keinginan Allah untuk menyiksa kita melainkan mendidik agar kita tahu bahwa disaat kita lemah, pada posisi itu kita hanyalah makhluk Allah yang tak berdaya dan tak memiliki apa-apa. Kita diperintahkan untuk menahan lapar dan haus bukan karena Allah ingin kita mati kelaparan namun Allah mendidik kita untuk menyadari bahwa disekeliling masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam penderitaan lapar dan haus yang berkepanjangan. Dengan tarbiyah dan didikan seperti ini, diharapkan setiap orang yang melaksanakan ibadah puasa mampu mengenal kembali jati dirinya darimana kita berasal dan untuk apa kita hidup diatas dunia ini ? Kekayaan, kesuksesan dan kekuasaan bukanlah merupakan tujuan hidup akan tetapi tidak lebih merupakan pilihan hidup.

Kaum Muslimin………..
Melalui bulan suci Ramadhan yang telah pergi meninggalkan kita serta dalam merayakan hari raya yang fitri, mari kita kembali merenung dan terus memperhitungkan sisa umur yang kita miliki. Mari kita renungkan kembali, kemarin kita masih bisa merasakan indahnya Ramadhan, tahun ini kita masih bisa berpuasa dan mengeluarkan zakat. Tapi, apakah ada jaminan untuk kita bahwa di bulan ramadhan ditahun yang akan datang kita dapat berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan ? Banyak jalan yang kita dapat tempuh untuk beribadah kepada Allah, tidak selamanya ibadah itu harus diukur dengan uang. Bagi orang kaya silahkan beribadah dengan kekayaannya, seorang guru beribadahlah dengan ilmunya, seorang petani beribadahlah dengan hasil pertaniannya dan begitu pula dengan profesi-profesi yang lainnya. Dan bagi orang yang merasa diri tidak memiliki apa-apa, jangan merasa minder untuk tidak dapat beribadah kepada Allah karena sebaik-baik ibadahnya orang yang tidak memiliki apa-apa adalah dengan zikir dan berdoa.


“Tidak aku cipatakan Jin dan Manusia melainkan untuk beribadah”


Kaum Muslimin Yang Berbahagia
Sebagai akhir sekaligus sebagai renungan bagi kita, mari kita renungkan. Hidup diatas dunia ini bukanlah kehidupan yang kekal dan setiap perbuatan manusia pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau dalam setiap detik dari hidup kita, kalau dari panjangnya umur yang kita miliki kita tidak pernah berbuat baik, kita tidak pernah beribadah kepada Allah dan kalau kita selalu terjebak dalam dosa dan maksiat. Dimanakah waktu yang akan kita pergunakan untuk zikir kepada Allah ? Kalau setiap saat kita hanya asyik dengan minum-minuman keras, setiap waktu kita hanya senang membicarakan aib orang lain, setiap masa kita hanya bisa berlaku curang, bertengkar dengan isteri-isteri dan anak-anak kita, selingkuh atau bahkan sering menzhalimi hak orang lain, apakah yang akan kita bawa menghadap Allah ‘azza Wa Jalla ?
Mari kita renungkan, bagaimana nasib kita kelak ketika Malakul maut datang menjemput kita, sementara kita masih terbalut dosa ? Kita akan dijemput dengan kasar oleh malaikat adzab, kita akan ditolak oleh Allah, kita akan disiksa, kita akan menjerit kesakitan. Namun, jeritan itu tidak didengar oleh anak isteri kita maupun sanak saudara kita. Kita benar-benar menghadapi semua siksa itu dalam kesendirian dan kita akan menyesal dalam penyesalan yang tidak berguna lagi. Kita memohon maaf atas semua dosa yang telah kita lakukan, tapi permohonan kita tidak lagi diterima. Terlambat dan tidak berguna lagi kita bertaubat. Terlambat dan tidak berguna lagi kita meminta maaf. Segalanya telah berlalu begitu cepat, padahal jika kita segera meminta maaf, jika kita segera meminta ampun, kita tidak akan menjerit seperti itu.
Kemarin kita masih hidup, kemarin kita masih mendapati bulan Ramadhan, tapi kita tidak gunakan untuk meminta maaf kepada sesama. Kemarin kita masih bergerak, kemarin kita masih bisa berpuasa tetapi kita tidak gunakan itu untuk meminta ampun kepada Allah. Kemarin kita masih kuat, kita masih muda tetapi kita tidak gunakan itu untuk beribadah. Dan kemarin lidah kita masih bisa bertasbih serta masih ada kesempatan tapi kita lalaikan dan sia-siakan itu semua.
Kini, disaat Ramadhan akan pergi meninggalkan kita, disaat kita telah terbaring kaku, kita tidak bisa lagi bergerak, kita tidak dapat berbuat apa-apa, lidah kita keluh, hati kita gersang barulah kita menyesal dalam penyesalan yang berkepanjangan akibat kelalaian kita sendiri.
Kalau Allah sebagai Zat Yang Maha Kuasa senantiasa membuka pintu maafnya bagi setiap para pendosa dan pembuat kesalahan, jika Allah Yang Maha Kaya senantiasa memberikan ampunan-Nya kepada hamba-hambaNya yang bertobat. Mengapa kita manusia yang serba kekurangan dan lemah ini tak kuasa memberikan maaf kepada saudara-saudara kita, mengapa kita masih enggan untuk menerima uluran permintaan maaf dari tetangga dan sahabat-sahabat kita? Oleh karena itu melalui kesempatan ini, dengan senantiasa mengharapkan rahmat dan ridha Allah, tidak ada kata indah yang kita ucapkan selain ucapan Minal Aidin Wal Faizhin, Mohon maaf lahir dan bathin.

Comentários:

Posting Komentar

 
Muslim Kaffah Blog's © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |